Sholat memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya sholat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabut : 45). Allah berfirman (yang artinya), “Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku.” (Thaha : 14) (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 1/301)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang di dalam sholatnya khusyu’.” (al-Mu’minun : 1-2). Allah juga berfirman (yang artinya), “Celakalah orang-orang yang melakukan sholat itu; yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (al-Maa’un : 4-5). Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah (yang artinya), “Wahai Rabbku, jadikanlah aku orang yang selalu mendirikan sholat dan juga dari keturunanku….” (Ibrahim : 40) (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 1/302-303)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amalan pertama yang akan dihisab pada diri setiap hamba kelak pada hari kiamat adalah sholat. Apabila baik maka baik pula seluruh amalnya. Apabila buruk/rusak maka rusaklah seluruh amalnya.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath, disahihkan al-Albani). Di dalam hadits yang sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan sholat lima waktu seperti mandi lima kali sehari sehingga ia akan bisa menghapuskan dosa-dosa (lihat al-Mausu’ah, 1/305)
Dari Jabir radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seorang dengan syirik atau kekafiran itu adalah sholat.” (HR. Muslim). Dari Buraidah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan sahih serta disahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi) (lihat al-Mausu’ah, 1/307)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa tidak melakukan sholat maka dia sudah tidak punya agama.”. Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Tidak ada jatah di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan sholat.” (lihat Ta’zhim ash-Sholah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 21)
Umat Islam tidaklah berbeda pendapat bahwasanya meninggalkan sholat wajib secara sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan bahwasanya dosa pelakunya di sisi Allah lebih berat daripada dosa orang yang membunuh, merampok, dan lebih berat daripada dosa zina, mencuri, atau meminum khamr dan pelakunya berhak mendapatkan ancaman hukuman Allah, kemurkaan, dan kehinaan dari-Nya di dunia dan di akhirat (lihat Ta’zhim ash-Sholah, hal. 23, lihat juga Kitab ash-Sholah karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, hal. 5)
Sholat lima waktu merupakan salah satu diantara lima rukun Islam. Bahkan ia merupakan rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Barangsiapa menentang kewajibannya maka sungguh dia telah kafir (lihat Taisir al-‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 83)
Barangsiapa meninggalkan sholat secara sengaja karena menentang kewajibannya maka dia telah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dia harus diminta bertaubat. Apabila dia tidak mau bertaubat maka dibunuh karena telah berstatus murtad. Adapun apabila dia meninggalkan sholat karena malas dan masih mengakui kewajibannya maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan sekelompok ulama muhaqqiq/peneliti berpendapat bahwa orang itu telah kafir keluar dari Islam. Adapun jumhur ulama berpendapat bahwasanya orang itu telah melakukan kekafiran amalan (kufur ‘amali) yang tidak mengeluarkan dari Islam. Meskipun demikian orang itu tetap harus diperintahkan untuk mengerjakan sholat. Apabila dia tetap tidak mau maka orang itu harus dibunuh, bahkan menurut ulama yang tidak mengkafirkannya. Hanya saja ulama berbeda pendapat apakah dia dibunuh karena murtad atau sebagai hukuman hadd. Bagaimana pun juga meninggalkan sholat adalah tindakan yang sangat membahayakan. Pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah bahwasanya meninggalkan sholat adalah kekafiran yang mengeluarkan dari agama (lihat Tas-hil al-Ilmam, 2/9-10)
Mujahid bin Jabr rahimahullah pernah bertanya kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, “Apakah amalan yang membedakan antara kekafiran dan keimanan menurut kalian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Sholat.” (lihat dalam al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 176)
Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Tidaklah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang ada suatu amalan yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir selain daripada sholat.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 178)
Nafi’ bekas budak yang dimerdekakan oleh Ibnu Umar memberikan jawaban hukum tentang status orang yang mengakui wahyu yang telah Allah turunkan dan mengimani pula apa yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu orang itu berkata, “Aku tidak mau sholat. Dan aku mengetahui bahwa ia merupakan kewajiban dari Allah ta’ala.” Maka Nafi’ menjawab, “Dia itu adalah orang kafir.” (lihat al-Manhaj as-Salafi, hal. 179)